Akhir Januari 2012 lalu saya
menerima penugasan untuk berangkat ke Sabang.
Ini adalah penugasan yang kedua kalinya menuju kota yang terletak di
ujung barat Republik dengan harapan semuanya berjalan dengan lancar dan sukses. Pada awalnya saya tidak terlalu berniat untuk
motret karena dalam kunjungan pertama saya telah mengunjungi beberapa tempat
wisata Sabang dan Pulau Weh. Begitu pun,
EOS 500D dengan Tamron 18-270mm VC DiII tetap saya masukan dalam backpack, mana tahu diperlukan.
Urusan di kota Sabang ternyata dapat diselesaikan
dalam waktu 1 jam 30 menit. Saya masih
punya waktu sekitar 4 jam lagi sebelum ferry penyeberangan menuju ke Banda Aceh
berangkat pada jam 16.00 WIB nanti. Sambil
mengisi waktu menunggu jadwal pulang ke Banda Aceh, saya dan para sahabat di
Nanggroe, Marwan Hakim dan Hendra, memutuskan berkeliling Sabang. Niat awal saya yang tadinya tidak ingin
motret pun pupus sudah ketika melihat langit biru, laut yang terhampar luas
serta jajaran perahu yang sedang sandar di pelabuhan. Saatnya DSLR bertugas. Sabang, tempat dimana ada saja alasan untuk
menekan tombol rana untuk mengabadikan keindahan ciptaan Tuhan.
Waktunya kembali ke Banda Aceh. Terima kasih Sabang. Dalam hati saya membatin, mudah – mudahan diberikan kesempatan untuk kembali. Ada keinginan untuk mengabadikan keindahan bawah lautnya Sabang yang katanya terkenal indah.
Banda Aceh, kota yang sarat sejarah. Tidak pernah bosan saya untuk mengagumi kuta raja ini walaupun telah berkali – kali mengunjunginya. Saya pun menyempatkan untuk mengambil beberapa gambar di tempat – tempat yang sebelumnya terlewatkan pada kunjungan terdahulu.
Kapal di atas rumah merupakan salah satu saksi bisu dahsyatnya Tsunami yang menerjang Banda Aceh pada 26 Desember 2004 yang lalu. Berdasarkan informasi yang terdapat pada situs tersebut, kapal kayu dengan dimensi panjang 25 meter, lebar 5,5 meter dan berat 25 ton awalnya berada di Sungai Krueng Aceh dan sedang melakukan docking / perawatan. Rencananya pada hari Minggu, 26 Desember 2004, kapal diperintahkan oleh pemiliknya untuk dibawa ke Lhoknga untuk diisi pukat. Namun gelombang Tsunami mengantarkan kapal kayu tersebut 1 km dari posisi awalnya dan terdampar di atas rumah penduduk yang terletak di Lampulo, Banda Aceh. Ada 59 orang warga yang naik ke atas kapal tersebut untuk menyelamatkan diri dari amukan Tsunami dan seluruhnya selamat.
Dari pantai saya dapat melihat nun jauh di ujung sana, Gunung Seulawah, tegak berdiri seakan - akan mengawasi dan menjaga Nanggroe.
Terima
kasih kepada Abangda Deddy Sunandar Mahfuz, Marwan Hakim dan Hendra yang telah
menemani berkelana di negeri Serambi Mekkah.
Izinkan asa ini untuk kembali, demi sejarah kota kalian, kuliner dan
budayanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar