4 jam menempuh perjalanan sejauh + 245 km cukup melelahkan saya. Namun pemandangan yang disuguhkan sepanjang perjalanan Banda Aceh hingga Meulaboh ternyata luar biasa. Walaupun sempat terlelap dalam 1 jam perjalanan awal karena kelelahan menempuh perjalanan dari Jakarta – Banda Aceh sehingga saya kehilangan kesempatan menyaksikan indahnya lansekap Pegunungan Groote, namun eksotisnya alam Nanggroe Darussalam ini masih tersisa dari Lamno hingga senja tiba di kaki langit kota Calang, salah satu daerah yang paling parah terpapar tsunami di Desember 2004 lalu.
Tak tahan akan indahnya mentari
yang siap – siap kembali ke peraduan, saya pun akhirnya meminta supir yang
membawa saya dan teman menuju Meulaboh untuk menepi dalam perjalanan kami dari
Calang menuju Meulaboh. Toh tak ada
alasan untuk buru – buru sampai di Meulaboh dan saya pikir, kapan lagi bisa
menikmati perjalanan mobil, si sahabat
petualang, di pantai barat Sumatera ini.
Ini adalah kali kedua saya berkesempatan mengunjungi Bumi Teuku Umar Johan Pahlawan, Meulaboh. Sebagai ibukota Kabupaten Aceh Barat, Meulaboh telah me-recovery diri setelah 8 tahun yang lalu luluh lantak disapu tsunami. Jalanan kotanya ramai dan denyut perdagangan begitu terasa seakan – akan peristiwa yang memilukan hati di Desember 2004 itu tak pernah terjadi. Tidak seperti di Banda Aceh, dalam perjalanan saya mengitari Meulaboh tidak banyak peninggalan tsunami yang tersisa untuk dijadikan monumen pengingat peristiwa itu di kota kelahiran pahlawan nasional Teuku Umar ini.
Ini adalah kali kedua saya berkesempatan mengunjungi Bumi Teuku Umar Johan Pahlawan, Meulaboh. Sebagai ibukota Kabupaten Aceh Barat, Meulaboh telah me-recovery diri setelah 8 tahun yang lalu luluh lantak disapu tsunami. Jalanan kotanya ramai dan denyut perdagangan begitu terasa seakan – akan peristiwa yang memilukan hati di Desember 2004 itu tak pernah terjadi. Tidak seperti di Banda Aceh, dalam perjalanan saya mengitari Meulaboh tidak banyak peninggalan tsunami yang tersisa untuk dijadikan monumen pengingat peristiwa itu di kota kelahiran pahlawan nasional Teuku Umar ini.
Meulaboh, seperti tempat lainnya
di Nanggoe, juga menawarkan kenikmatan cita rasa kopi Aceh yang khas. Sebagai bagian dari coffee paradise di Nanggroe, anda dapat
mencicipi uniknya kopi tubruk di Meulaboh.
Sayang sekali jika tim Terios 7-Wonders
tidak sempat mengunjungi Meulaboh dan mencoba kopi tubruk yang disajikan secara
terbalik disini. Sebagai informasi, tim Terios 7-Wonders adalah tim petualangan yang
berisikan 10 orang yang disponsori oleh Daihatsu Indonesia untuk merekam
keindahan alam Indonesia, khususnya Sumatera, mulai dari ujung Lampung hingga
kilometer 0 di Sabang, NAD. Mengendarai
3 unit Dahaitsu Terios, mobil sahabat petualang, tim Terios 7-Wonders juga mengunjungi 7 lokasi
produsen kopi di pulau Sumatera. Untuk
informasi lebih lengkap silahkan mengunjungi http://www.daihatsu.co.id/terios7wonders/news.
1.
Menikmati Kopi Aceh plus Nasi Lemak
Sudah menjadi kebiasaan buat saya apabila bepergian dalam urusan kantor selalu berusaha untuk sarapan pagi dengan menikmati menu khas daerah setempat. Begitu juga sarapan pagi di Meulaboh kali ini, saya memilih untuk menikmati segelas kopi sanger khas ulee kareeng dan sepiring nasi lemak dengan daging rendang sebagai lauknya di salah satu kedai kopi yang ada di Meulaboh.
Secangkir sanger, sajian kopi khas ulee kareeng, sepertinya cukup untuk membantu meningkatkan mood pagi ini. Sanger sendiri menurut saya adalah cappucino versi tradisionalnya Aceh, namun rasanya sendiri sangat khas dan jauh lebih nikmat ketimbang cappucino. Saya memang bukanlah seorang pecandu kopi, namun apabila bertugas ke Banda Aceh atau daerah Nanggroe lainnya yang memang terkenal sebagai coffee paradise, saya akan memilih sanger sebagai salah satu minuman wajib.
Kedai kopi sendiri bagi masyarakat di Nanggroe adalah kebutuhan. Sama seperti di Banda Aceh, kedai kopi juga menghiasi setiap sudut kota Meulaboh. Selain untuk sarapan pagi, kedai kopi juga menjadi tempat bersosialisasi masyarakat setempat. Berbagi cerita, menggali berita atau sekedar menjaga silaturahim, bisa dilakukan di tempat ini. Dan hampir di semua kedai kopi sudah dilengkapi dengan hotspot atau wifi tidak berbayar alias gratis. Menurut saya ini adalah salah satu fasilitas yang bisa anda peroleh di kedai kopi tradisional yang ada di Nanggroe, seperti Banda Aceh dan Meulaboh sehingga buat anda yang ingin surfing, chatting, menulis di blog atau sekedar up date status di jejaring sosial dapat dilakukan di kedai kopi.
Kopi tubruk bukanlah sesuatu yang luar biasa, namun saya sarankan anda wajib mencoba kopi tubruk yang satu ini khususnya di Meulaboh. Dalam perjalanan saya pertama kali ke Meulaboh saya tidak sempat menikmatinya karena keterbatasan waktu. Kali ini, dalam perjalanan kedua, saya sudah pasang niat, bahkan sebelum pesawat maskapai pelat merah membawa saya dari Jakarta ke Banda Aceh, saya harus mencicipi kopi tubruk di Meulaboh nanti.
Kopi tubruk yang satu ini memang agak spesial dalam hal penyuguhan. Jangan kaget bila anda melihatnya disajikan dalam posisi terbalik. Ya, mulut gelasnya berada di bawah dan lekat dengan tatakannya. Walaupun sudah melihat liputannya di televisi dan membaca artikelnya di beberapa majalah serta tabloid, namun saya tidak dapat menutupi rasa takjub plus bengong sedikit ketika si kopi tubruk ini telah tersedia di depan saya untuk segera di seruput.
Bagaimana cara menikmatinya ? Kopi tubruk terbalik ini disajikan plus dengan sedotan. Sebelum menyeruput kopi melalui sedotannya, anda harus meniup terlebih dahulu sedotan yang sudah terselip di mulut gelas yang tertelungkup itu. Tiupan itu akan membuat kopi mengalir keluar gelas dan tertampung di tatakannya. Bila anda rasa kopi yang hendak diminum belum cukup, silahkan tiup lagi sampai anda rasa cukup. Menariknya ampas atau bubuk kopi tersebut akan tinggal di dalam gelas. Ahh...cara menikmati kopi yang luar biasa. Apalagi sambil menikmati sajian matahari senja di tepian Pantai Suak Ribee, salah satu gugusan pantai yang ada di Meulaboh. Sempurna....dan tak salah bila kita memasukkan dalam kategori coffee paradise .
3.
Mesjid Agung Baitul Makmur
Menurut saya ini adalah salah
satu ikon kotanya Meulaboh. Besar dan
indah. Itulah kesan saya. Dalam kunjungan saya pertama di tahun 2011
lalu tidak sempat mengambil gambar mesjid ini karena waktu tidak
memungkinkan. Di sela – sela urusan
pekerjaan dalam kunjungan kedua ini, saya pun menyempatkan untuk sholat Zuhur
berikut mengambil gambar mesjid ini sebelum bersantap siang.
Tidak banyak referensi untuk menggali sejarahnya mesjid agung ini di belantara dunia maya, namun menurut situs www.duniamasjid.com , mesjid yang berlokasi di Jl. Imam Bonjol nomor 100 Meulaboh ini diresmikan pada 01 Juni 1999. Berdaya tampung untuk 7.000 orang jemaah, mesjid ini memiliki luas 3.500 m2 dan dirancang oleh Ir Alwin serta Prof. Dr. H. Idrus.
4.
Sepiring Mie Kepiting di Sudut Kota
Letaknya tidak jauh dari Pantai Suak Ribee. Siang itu, sebelum menyudahi perjalanan tugas di Meulaboh, saya sengaja mengajak teman – teman untuk mencicipi Mie Kepiting atas rekomendasi hasil googling saya tentang kuliner di Meulaboh. Seorang teman asal Meulaboh membawa kami ke Pantai Suak Ribee untuk menikmati mie kepiting yang terkenal lezat nan murah. Setelah menempuh perjalanan sekitar 10 menit dari pusat kota, sampailah saya di Mie Tangse, warung kopi yang menjual berbagai macam menu olahan mie, termasuk Mie Kepiting.
5. Monumen Kupiah Meukutop
Sekali lagi Mbah Google membantu saya untuk mengetahui apa saja yang ada di Meulaboh. Selain landmark berupa Mesjid Agung Baitul Makmur, sajian khas kopi tubruk terbalik plus Mie Kepiting, ibukota Aceh Barat ini pun memiliki monumen Kupiah Meukotop. Kupiah Meukotop sendiri menurut saya adalah topi khas atau tradisional yang biasa dipakai oleh pengantin pria asal Nanggroe ketika resepsi digelar. Correct me if I’m wrong (CMIIW).
Letaknya tidak jauh dari Pantai Suak Ribee. Siang itu, sebelum menyudahi perjalanan tugas di Meulaboh, saya sengaja mengajak teman – teman untuk mencicipi Mie Kepiting atas rekomendasi hasil googling saya tentang kuliner di Meulaboh. Seorang teman asal Meulaboh membawa kami ke Pantai Suak Ribee untuk menikmati mie kepiting yang terkenal lezat nan murah. Setelah menempuh perjalanan sekitar 10 menit dari pusat kota, sampailah saya di Mie Tangse, warung kopi yang menjual berbagai macam menu olahan mie, termasuk Mie Kepiting.
Untuk menikmati kelezatannya,
saya dan teman – teman rela menunggu sekitar 15 menit sebelum sepiring Mie
Kepiting tersaji dihadapan kami.
Hmmm...tampilannya yummy dilengkapi
dengan potongan kepiting yang besar.
Bahkan, besar sekali menurut saya.
Jeda waktu menunggu 15 menit tadi pun terbayar sempurna. Worth
it banget. Cita rasanya
euuaaannnaakkk tenan. Super makyus dan top markotop. Tidak salah rekomendasi googling saya. Disajikan
dengan kuah yang bercita rasa khas berikut dengan potongan timun plus irisan
bawang merah segar, sepiring Mie Kepiting pun kandas dalam waktu 5 menit. Mie Kepiting ini pun bukan sesuatu yang
asing buat saya. Beberapa kali saya
pernah mencobanya, baik ketika masih berdomisili di Medan maupun di
Jakarta. Namanya Mie Aceh Kepiting. Namun karena saat ini saya mencobanya di
Aceh, maka tidak ada yang namanya Mie Aceh.
Yang ada adalah Mie Kepiting Tangse.
5. Monumen Kupiah Meukutop
Sekali lagi Mbah Google membantu saya untuk mengetahui apa saja yang ada di Meulaboh. Selain landmark berupa Mesjid Agung Baitul Makmur, sajian khas kopi tubruk terbalik plus Mie Kepiting, ibukota Aceh Barat ini pun memiliki monumen Kupiah Meukotop. Kupiah Meukotop sendiri menurut saya adalah topi khas atau tradisional yang biasa dipakai oleh pengantin pria asal Nanggroe ketika resepsi digelar. Correct me if I’m wrong (CMIIW).
Selain berada di tengah kota,
Monumen Kupiah Meukotop juga ada di Batee Puteh yang letaknya tidak jauh dan
searah dengan Pantai Suak Ribee. Monumen
ini dibangun untuk menandai lokasi ditembaknya Teuku Umar di Batee Puteh. Menurut teman yang pernah berdinas di
Meulaboh, monumen asalnya sudah punah tersapu tsunami di Desember 2004 yang
lalu. Letaknya juga lebih dekat dengan
pantai. Pasca tsunami, pemerintah
kembali membangun Monumen Kupiah Meukotop dengan posisi agak menjauh dari
pantai.
Tidak jauh dari Monumen Kupiah
Meukotop dan berada di dekat pantai, saya melihat sisa – sisa jembatan yang
dibangun pada tahun 1996 / 1997 yang hancur diterjang tsunami. Menurut teman saya, jembatan ini tadinya
dipergunakan untuk menghubungkan jalur darat Banda Aceh – Meulaboh.
Akhirnya, penugasan di Meulaboh selesai sudah. Saya harus segera kembali ke Banda Aceh. Terima kasih untuk teman – teman saya, Deddy
Sunandar Mahfudz, Fakhrial dan Indra, yang mendampingi untuk melihat kota
kalian yang luar biasa sehingga saya bisa menuliskan dalam blog ini.
Om Yozi yang baik,
BalasHapusTerima kasih telah mampir dan berkenan meninggalkan komentar. Salam Blogger juga dan saya pun masih newbie dalam hal tulis menulis serta potret memotret.
wah.. cukup lengkap ya Pak Dhanny, liputan ttg Meulabohnya.
BalasHapusSaya juga pernah berkesempatan ke Meulaboh thn 2010. serasa bernostalgia terutama dengan kopi tibalik nya :D (saya minum kopi tibalik saat itu dibarengi dgn cerita salah satu korban tsunami.. dramatis sekali)
oiya, mie kepiting Tangse nya luar biasa...
kembali teringat salah satu wisata kuliner saya
(jika berkenan bisa mengunjungi http://nursandy.multiply.com/video/item/19 )
sukses terus ya Pak Dhanny....
(foto2nya keren2X, saya cuma sedikit foto2 saat di meulaboh http://nursandy.multiply.com/photos/album/38/Meulaboh )jd numpang promosi situs saya nih.. hehehe
maaf
Pak Nursandy yang baik,
HapusTerima kasih telah berkenan mampir dan menorehkan komentarnya. Saya telah berkunjung juga ke blog Bapak namun sepertinya ada kesalahan sehingga tidak dapat membubuhkan komentar saya.
Terima kasih.