Bunyi gaduh pendaratan pesawat membangunkan saya. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di Banda Aceh setelah sempat mengalami penundaan keberangkatan dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta selama 2 jam. Jam sudah menunjukkan pukul 21.30 dan teman saya di Banda Aceh, Marwan Hakim, telah menanti di kedatangan Bandara Iskandar Muda, Banda Aceh.
Walaupun sudah makan malam di Bandara Soekarno Hatta, namun ajakan untuk menikmati hidangan malam di Banda Aceh sebelum istirahat di hotel sepertinya sayang untuk ditolak. Tujuan kami pun menuju Warung Sate Matang D'Wan yang terletak di dekat hotel saya akan menginap. Sejujurnya, ini bukan kali pertama saya mencicipi masakan khas Aceh, terutama Sate Matang. Angan saya pun kembali ke saat pertama sekali mencoba kuliner dari Nanggroe ini. Ketika itu saya memberikan pesan kepada pemilik warung sate agar memasak sate pesanan saya sampai matang. Dan saya pun sempat bertanya, apakah ada sate yang setengah matang ? Kontan saja, teman yang mengajak saya ketika itu pun tertawa terpingkal - pingkal. Akhirnya dia pun menjelaskan kalau matang yang dimaksud adalah suatu daerah di Nanggroe Aceh Darussalam, tempat sate itu berawal. Ooo..begitu ternyata awal muasalnya si sate ini.
Sate Matang biasanya dihidangkan dengan nasi dan semangkuk kuah kaldu yang gurih rasanya. Di tempat kami bersantap kali ini, sate pun dihidangkan sebanyak 40 - 50 tusuk. Teman saya mengingatkan bahwa sate tersebut tidak harus dihabiskan seluruhnya. Cukup yang dimakan yang dibayar. Dia sengaja menjelaskan kepada saya karena takut pengalamannya mengajak tamu dari Jakarta beberapa waktu yang lalu terulang, dimana sang tamu menghabiskan seluruh sate yang dihidangkan karena sayang bila bersisa sebab dikira disajikan per porsi dan sudah dibayar. Kasihan sekali si tamu itu, batin saya. Menghabiskan 40 - 50 tusuk sate kambing bukan kerjaan mudah.
Selain Sate Matang, saya tentunya tidak dapat melupakan nikmatnya segelas kopi susu di Nanggroe ini. Selepas sarapan pagi di hotel yang seadanya saja, saya pun akhirnya memilih melanjutkan sarapan di salah satu warung kopi yang ada di Banda Aceh sebelum mengawali pekerjaan.
Hampir setiap kedai atau warung kopi disini menyediakan cemilan sebagai teman menikmati segelas kopi. Salah satunya ada Pulut (ketan) Panggang kesukaan saya.
Lalu ada juga Timpan yang memiliki citarasa luar biasa.
Dan tak ketinggalan kue Srikaya yang istimewa, dengan paduan pulut (ketan) dibawahnya, Srikaya-nya begitu terasa dan nikmat.
Jangan lupa untuk menikmati Mie Rajali. Buat saya yang lama menetap di Medan, Mie Rajali ini disebut dengan Mie Aceh. Tapi anda kesulitan mencari Mie Aceh di Banda Aceh sebagaimana mencari Sate Padang di kota Padang. Karena nama makanannya akan diikuti dengan nama si penjual nya. Begitulah kebiasaan makanan bila di daerah asalnya. Untuk anda yang pernah mencicipi Mie Aceh di Medan tentu akan merasakan citarasa yang jauh berbeda bila mencoba Mie Rajali ini. Porsinya tidak begitu banyak, sedang saja, namun banyak pilihannya. Anda bisa memilih Mie yang disajikan dengan daging sapi, kepiting, udang atau kombinasi diantaranya.
Selain kuliner di atas, Banda Aceh memiliki banyak sekali kuliner khas. Ada Kari Kambing Ulee Kareeng (maaf bila salah penulisannya) yang mantap rasanya, Ayam Tangkap sampai Ayam Lepas (saya sempat bergurau kepada teman disana asal tidak Ayam Kampus saja..hahahaha..), namun karena keterbatasan waktu kunjungan maka hanya kuliner di atas saja yang dapat saya sajikan dalam posting kali ini.
Terima kasih kepada sahabat saya Marwan Hakim dan Abangda Deddy Sunandar Mahfudz yang telah menemani berkeliling mencoba kuliner khas Nanggroe. Semoga ada kesempatan untuk kembali...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar