Sabtu, 21 Juli 2012

MELIHAT KEHIDUPAN SUKU SASAK DI DESA SADE, LOMBOK

Bila anda suatu saat berlibur ke Pulau Lombok, sempatkanlah mampir sejenak di Desa Sade yang berada di Lombok Tengah.  Desa wisata ini menawarkan pengalaman unik kepada wisatawan dengan melihat dari dekat kehidupan sehari - hari suku Sasak, suku asli yang mendiami Pulau Lombok.  Lokasinya juga tidak jauh dari Bandara Internasional Lombok (BIL).  Anda hanya membutuhkan waktu 20-30 menit saja untuk mencapai Desa Sade dan merasakan denyut nadi suku Sasak di desa ini.  Bagi anda yang berniat melakukan perjalanan menuju Pantai Kuta dan Pantai Tanjung Aan, anda akan melewati desa ini.  Saya sendiri merasakan ketertarikan yang begitu dalam ketika melewati desa ini dalam perjalanan menuju Pantai Kuta dan Pantai Tanjung Aan. Niat untuk singgah dan berkeliling di desa wisata ini akhirnya baru kesampaian setelah kunjungan ketiga kalinya ke Bumi Mandalika ini.








































Siang itu, setelah saya dan rombongan disuguhi pemandangan indahnya Pantai Tanjung Aan, dalam perjalanan menuju Mataram kami pun diajak mampir di Desa Sade.  Atmosfir desa tradisional pun langsung menghinggapi saya ketika melangkahkah kaki melewati gapura desa.  Desa tradisional yang bersih dan tertata rapi.  Begitulah kesan pertama saya memasuki desa ini.  Beruntung, siang itu kami ditemani seorang pemandu yang merupakan pemuda desa setempat.  Setelah mengisi buku tamu dan memberikan sumbangan seikhlas hati untuk perawatan desa, kami pun mulai berkeliling.  Untaian kain berjajar rapi dan aneka cendramata khas Lombok ditawarkan hampir di setiap rumah yang ada di desa ini.  Anda dapat memilih aksesoris setempat seperti kalung, gelang ataupun wadah perhiasan sebagai oleh - oleh dari Lombok. Beberapa motif yang sering menghiasi aksesoris tersebut biasanya berupa cicak, simbol keberuntungan menurut masyarakat setempat.



Menurut keterangan dari pemandu kami, Desa Sade memiliki luas lebih kurang 6 ha dan ditinggali oleh 152 kepala keluarga.  Hanya ada 152 rumah disana dan pemerintah daerah setempat bersama - sama dengan pemangku adat desa memang mempertahankan keaslian adat istiadat lokal di desa ini. Menurut peraturan desa, warga tidak boleh membangun pemukiman baru lagi di Desa Sade. Sebagian besar warga Desa Sade hidup dari kegiatan bertani, pengrajin kain tenun ikat khas Lombok dan pengrajin cinderamata.


Selain kain tenun ikat yang dikerjakan secara tradisional, benang untuk menenun pun biasanya dipersiapkan sendiri oleh suku Sasak dengan cara dipintal.  Setelah selesai dipintal,benang pun ditenun sehingga menjadi kain tenun ikat dengan berbagai motif dan corak.











































Setelah puas melihat proses pembuatan kain tenun ikat dan proses pemintalan benang yang dikerjakan oleh warga setempat, kami pun melanjutkan berkeliling desa wisata ini.  Sang pemandu pun menawarkan kami untuk singgah dan melihat ke dalam salah satu rumah yang ada di Desa Sade. Setelah meminta izin kepada pemilik rumah, kami pun masuk melalui pintu depan rumah yang ukurannya tidak seperti pintu rumah biasanya. Tinggi pintunya hampir setinggi ukuran dewasa malah mungkin lebih rendah lagi. Itu perkiraan saya ketika akan melangkah masuk ke dalam rumah. Pemandu pun mengingatkan kami untuk membungkukkan badan ketika melewati pintu depan rumah agar kepala tidak terbentur bagian atas pintu.  Salah satu keunikan rumah di desa ini adalah pintu untuk keluar masuk rumah hanya ada 1 saja, yaitu dibagian depan rumah.

Rumah suku Sasak ini begitu sederhana.  Rumah yang berukuran sekitar 7 x 5 meter itu dibagi ke dalam 2 ruangan yaitu bale luar dan bale dalam.  Pemandu kami lalu menjelaskan bahwa bale luar adalah area untuk menerima tamu sekaligus ruang tidur bagi laki- laki.  Walaupun dipergunakan untuk menerima tamu namun jangan anda bayangkan ada seperangkat kursi tamu di bale luar ini. Saya hanya menemui tempat tidur dan lemari serta beberapa barang - barang lainnya.


Bale dalam letaknya di belakang dari bale luar dan dihubungkan oleh anak tangga.  Untuk mencapai pintu masuk ke bale dalam yang ukurunnya lebih mini lagi dibandingkan dengan ukuran pintu masuk rumah, anda harus menapaki 3 anak tangga.  Jumlah anak tangga ini pun tidak sembarangan dan memiliki arti tersendiri.  Menurut sang pemandu, jumlah anak tangga itu sesuai dengan filosofi suku Sasak yaitu Wetu Telu dimana menurut kepercayaan suku Sasak hidup manusia itu termaknai dalam 3 tahapan yaitu lahir, berkembang dan mati.  Bale dalam adalah ruang yang lebih privasi bagi suku Sasak si pemilik rumah.  Di bale dalam ini terdapat tungku untuk memasak dan ruangan tidur untuk perempuan yang juga digunakan untuk ruangan melahirkan.  Bale dalam tidak memiliki jendela dan penerangannya hanya berasal dari lampu  yang terletak di pojok ruangan.

Rumah suku Sasak ini seluruhnya terbuat dari bahan - bahan alami.  Dindingnya dari anyaman bambu dan atapnya dari rumbia.  Sementara lantainya juga hanya beralaskan tanah.  Satu lagi keunikan rumah suku Sasak ini adalah lantai rumahnya dilumuri oleh kotoran kerbau sehingga lebih liat.  Saya sendiri tidak mencium bau atau aroma kotoran kerbau selama berada di dalam rumah.

Setelah puas melihat - lihat rumah khas suku Sasak, kami pun keluar dan mendapati lumbung padi khas suku Sasak yang terletak di tengah desa.  Bangunan lumbung ini disebut berugak oleh masyarakat Sasak.  Berugak inilah yang menjadi ikon disetiap bangunan pemerintah yang terdapat di Pulau Lombok.  Berugak berfungsi sebagai tempat penyimpanan hasil bumi dan bagian bawah bangunannya yang tidak berdinding sering dipergunakan oleh masyarakat setempat sebagai tempat untuk berkumpul.


Kami juga mendapati bangunan Mesjid di desa wisata ini.  Informasi yang saya peroleh dari salah satu situs menyebutkan bahwa suku Sasak adalah penganut agama Islam namun menunaikan sholatnya hanya 3 waktu saja atau Wetu Telu. 







































Salah satu tradisi yang dipertahankan di desa ini adalah penggunaan sarung.  Hampir sebagian besar penduduk desa, baik laki - laki dan perempuan menggunakan sarung.


Desa Sade juga memiliki balai pertemuan untuk warga desanya.  Letaknya tidak jauh dari pintu gerbang desa.  Bangunannya dirancang tanpa dinding dan terbuat dari kayu tersebut cukup asri.


Usai sudah tur singkat mengelilingi Desa Sade, desa wisata suku Sasak di Lombok Tengah.  Terima kasih kepada Pak Umar yang telah memberikan kesempatan untuk singgah dan telah memuaskan keingintahuan saya akan uniknya budaya suku Sasak.  Terima kasih pula kepada Bapak Bambang Mulyana, salah satu anggota rombongan yang bersedia menemani saya berkeliling di Desa Sade.


8 komentar:

  1. 3x mampir ke desa sade tapi kurang begitu nyaman, karna banyak nya yg nawarin oleh2. Padahal niat nya pingin berinteraksi mengobrol ttg kehidupan asli nya.

    Tapi semept terpuaskan sama desa sasak yg di senaru

    BalasHapus
    Balasan
    1. Om Cumi MzToro yang baik,

      Alhamdulillah sewaktu saya mengunjungi Desa Sade bisa bergerak leluasa mendokumentasikan keunikan desa adat wisata ini tanpa terganggu oleh penduduk setempat yang menawarkan buah tangan. Namun kunjungan saya ke beberapa pantai di Lombok, seperti Tanjung Aan dan Kuta, ditempel terus sama para penjual sehingga jadi kurang nyaman. Mudah-mudahan menjadi perhatian pemerintah setempat ya Om sehingga potensi pariwisata Lombok dapat dimaksimalkan..

      Hapus
  2. bang, kebetulan aku ada tugas kuliah tentang mencari permasalahan arsitektur yg sesuai dengan kearifan lokal. aku mau ambil lokasi dii desa sade. di daerah sana permasalahan2 yg abang temui apa ajah sih? terutama masalah yg mnyangkut arsitekturalnya. minta bantuannya ya bang. makasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mba Sushi yang baik,

      Terima kasih telah bertandang ke blog saya ini. Saya fikir tepat sekali bila ingin menggali kearifan lokal masyarakat Suku Sasak di Desa Sade, terutama yang berkaitan dengan arsitektur lokal. Saya sendiri tidak memahami permasalahan apa yang ingin Mba Sushi gali, namun menurut pengamatan saya dalam kunjungan yang tidak lebih dari 1,5 jam tersebut, Desa Sade sarat dengan arsitektur dengan kearifan lokal. Semua bangungan di Desa ini telah diatur dan sarat makna. Saya fikir banyak sekali tema yang bisa di explore lebih jauh, terutama oleh akademisi seperti Mba Sushi tentunya...Saya mohon maaf bila penjelasan saya ini tidak menjawab pertanyaan Mba Sushi sepenuhnya. Terima kasih.

      Hapus
  3. om dhanny.. keren bangeeett om.. !! :D
    pengen ikut jejak om dhanny jadinya.. huwaaa ^o^/

    BalasHapus
  4. hasil poto2 om keren banget...

    BalasHapus
  5. Desa ini memang unik.Dengan 152 rumah yang dihuni 700 warga, deesa ini patut dijaga kelestariannya. Tanggal 2 Juni 2013 saya menandangi desa tersebut dengan rombongan Jurusan Sastra Indonesia Fakultasn Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar. Dengan keunikannya, desa Sade mampu memuaskan teman-teman saya yang berkunjung. Salah satu aspeknya, harga produk warga ternyata lebih murah dibandingkan di tempat yang kami kunjungi sebelumnya. Saran saya, tanpa berusaha mengusik keaslian lokasi, jalan penghubung di desa ini agar perbaiki, maksudnya dibeton agar tidak becek saat hujan turun. (M>Dahlan Abubakar, Makassar)

    BalasHapus
  6. Wih manteb banget ya, harus di jadikan tujuan wisata dan dikelola dengan baik, kalau tidak bakalan lenyap.

    BalasHapus